Dosen ASN, Antara Guru Bangsa dan Operator Upload File
Oleh: Alfian Misran
04 Mei 2025
Mari kita mulai dengan satu pertanyaan konyol tapi menyakitkan: siapa yang lebih sibuk hari ini, dosen atau tukang administrasi kampus? Jawabannya jelas: dosen. Tapi bukan karena sedang membedah teori Foucault atau menggodok proposal penelitian, melainkan karena terjebak di labirin SISTER (Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi) yang nge-lag, unggah dokumen PDF (Portable Document Format) yang ditolak sistem, atau mencocokkan angka kredit jabatan fungsional yang lebih kompleks dari kalkulus integral.
Beginilah nasib sebagian besar dosen ASN (Aparatur Sipil Negara) di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang kemarin bernama Kemendikbudristek, hari ini berubah nama, besok entah apa lagi. Sejak pagi mereka membuka laptop bukan untuk menyapa mahasiswa atau mengulas jurnal, tapi untuk memastikan file SK (Surat Keputusan) tugas tambahan tidak tertukar dengan SK pengabdian masyarakat. Jika salah unggah, bisa-bisa jabatan fungsional tak naik, bahkan meski sudah mengajar lebih 20 tahun dan melahirkan ribuan sarjana.
Ironi itu belum selesai. Dosen, yang sering disebut _“pilar bangsa”_, justru dihargai dengan sistem tukin (tunjangan kinerja) yang maaf lebih cocok disebut “tunjangan nasib”. Seorang guru besar bisa dapat Rp6 jutaan, sementara pejabat eselon dua di kementerian dapat tukin hingga Rp19 juta hanya karena duduk di ruang AC dan menandatangani surat. Tentu saja dosen juga duduk di ruang AC. Tapi sambil memikirkan penelitian yang belum dapat dana, mahasiswa yang hilang bak ditelan bumi (_ghosting_ kata mahasiswa sekarang), dan akun SISTER yang minta login ulang tiap lima menit.
Ketimpangan ini bukan hal baru. Sudah bertahun-tahun dosen ASN bersuara. Tapi suara mereka seperti kuliah di kelas kosong yang bergaung, tapi tak ada yang menyimak. Maka tak heran bila pada 2025, muncul aksi protes besar-besaran. Dosen bukan lagi sekadar pengisi ruang kelas, tapi turun ke jalan. Mereka tak menuntut mobil dinas, hanya ingin keadilan: agar pengabdian intelektual tak dihargai lebih rendah dari jabatan struktural.
Pemerintah akhirnya merespons dengan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2025. Isinya cukup menjanjikan: dosen ASN di lingkungan PTN (Perguruan Tinggi Negeri) Satuan Kerja, PTN dengan status BLU (Badan Layanan Umum) yang belum menerima remunerasi, dan LLDIKTI (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) bisa mendapat tukin tambahan di luar tunjangan profesi. Namun, seperti biasa, setan bersembunyi di detail administratif. Perubahan nomenklatur kementerian dijadikan alasan penundaan pencairan. Lucunya, nama kementerian bisa diubah lewat SK, tapi pencairan tukin harus melewati rute panjang yang membuat becak jauh bisa lebih cepat sampai di tujuannya.
Lalu apa kabar dosen-dosen di PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) dan PTN BLU yang sudah menerima remunerasi? Maaf, Anda tidak termasuk. Silakan nikmati sistem Anda sendiri yang katanya sudah lebih sejahtera. Tapi, diam-diam, banyak dari mereka pun ikut gelisah. Bukan karena gaji, tapi karena merasa profesinya makin tergerus birokrasi. Hari ini, dosen dituntut menjadi peneliti, pendidik, pelayan masyarakat, dan ahli unggah dokumen, sekaligus. Dalam satu minggu, bisa ada rapat Senin-Rabu-Jumat, mengajar Selasa-Kamis, dan mengurus jabatan fungsional di akhir pekan.
Dan jangan lupa, publikasi di jurnal internasional wajib, lho! Tak peduli Anda mengajar di kampus daerah yang koneksi internetnya kalah cepat dari warung kopi. Tak peduli jurnal bereputasi menolak karena topik Anda dianggap terlalu lokal. Tak peduli Anda dosen multidisiplin yang sedang sibuk juga jadi panitia lomba 17-an fakultas. Pokoknya harus publikasi. Karena itulah tolok ukur dosen zaman sekarang: berapa Q1 yang Anda punya, bukan seberapa dalam Anda mengubah cara berpikir mahasiswa.
Lucunya, sistem penilaian ini dibungkus dalam retorika indah: profesionalisme, akuntabilitas, kerja berbasis KPI _(Key Performance Indicator)_, berbaju IKU (Indikator Kinerja Utama). Tapi yang dilihat justru angka kredit. Dosen bisa punya ide brilian, tapi tak dihitung kalau belum dibungkus dalam format penilaian. Maka lahirlah dosen yang jago presentasi proposal, tapi tak punya waktu menulisnya. *Lahirlah pengabdian masyarakat yang lebih banyak foto dan video dokumentasi daripada _"dampaknya"_*. *Lahirlah riset-riset yang hanya hidup di laporan, bukan di masyarakat*. Praktisi mengejeknya riset yang melangit tapi tak membumi.
Ini bukan kritik semata. Ini jeritan sunyi yang akhirnya terdengar hanya saat tukin tak cair. Bukan berarti dosen matre. Tapi siapa pun yang punya keluarga, cicilan rumah, dan harga cabai yang naik, tahu bahwa idealisme pun butuh nasi. Jangan bicara soal _"keikhlasan"_ jika sistem terus menindas. Jangan suruh dosen jadi teladan bangsa kalau penghargaan untuk mereka lebih rendah dari penghargaan untuk pembuat kebijakan yang tak pernah masuk kelas, tapi bisa dapat ijazah.
Kita perlu reformasi total. Bukan tambal sulam sistem pelaporan. Bukan workshop SISTER satu hari yang isinya cuma perintah unggah. Tapi reformasi paradigma. Bahwa dosen bukan karyawan biasa. Bahwa mereka tak bisa diukur sekadar lewat angka kredit dan absensi online dengan titik koordinat GPS terkunci di kampus. Bahwa mereka adalah pejuang akal sehat dalam dunia yang makin dikuasai algoritma dan KPI semu.
Jika bangsa ini ingin maju, jangan biarkan dosennya sibuk mengejar tanda tangan. Biarkan mereka membaca, meneliti, mengajar, dan membentuk pemikiran. Biarkan mereka jadi obor peradaban, bukan sekadar pengunggah file PDF.
Karena kalau dosen sudah lelah dan kehilangan makna, yang kalah bukan cuma para dosen, tapi masa depan Indonesia.*(AM)*
Sumber: wa group LPPM ULM
Comments powered by CComment